Pengunjung

Minggu, 21 Februari 2010

Pejabat Bermasalah
Tampaknya, hanya Islam yang telah memberi petunjuk dan bukti kongkrit kesuksesannya membereskan pejabat bermasalah. Jangankan terhadap pejabat penggelap dana sosial, bagi pejabat pejabat yang mengkorupsi sepotong jarum pun akan ditindak. Dalam beberapa hadits yang disahihkan Imam Abu Dawud disampaikan bahwa Nabi muhammad saw. bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang bekerja dengan kami, dan telah digaji dan diberi fasilitas dinas, lalu menggelapkan harta, walau cuma sepotong jarum, maka dia dinilai berkhianat.”
Ketatnya definisi Islam soal harta haram bagi pejabat, serta kuatnya kontrol kepala negara keluarga membuat banyak orang mengudurkan diri begitu mendengar aturan kenegaraan, sebagaimana hadits tersebut. Misalnya, seorang sahabat Anshar memilih mundur, padahal dia tidak tidak melakukan korupsi apa pun.
Bukti lain datang dari Khalifah Umar bin Khattab. Hanya karena panglima perang Khalid bin Walid tidak mematuhi perintah soal pembagian ghanimah ‘harta rampasan perang’, maka jenderal hebat itu dipecat. Umar memerintahkan agar harta jangan dibagikan kepada orang-orang yang telah kaya, melainkan khusus bagi fakir miskin (riwayat Ali bin Rabbah).
Meski kesalahan Khalid tampak sepele, apalagi bila dibanding jasa-jasanya, memenangkan perang atas Imperium Romawi di Muktah dan Yarmuk, tetapi wajib bagi Umar menindaknya dengan keras. Bila tidak, kepercayaan rakyat kepada sistem dan pengelola negara merosot.
Perselisihan dan konflik horizontal melebar. Akhirnya, perhatian pemerintah dan rakyat tersedot pada pejabat bermasalah itu, dan bukannya menyelesaikan masalah-masalah nyata, seperti kemiskinan dan ancaman negara lain.
Ini juga untuk mencegah timbulnya sikap meremehkan harta negara dan rakyat. Zaid bin Aslam meriwayatkan, Umar pernah memperingatkan anak buahnya agar tidak meremehkan aset negara atau publik, dan hanya takut mencuri harta pribadi orang lain. Sebab, sekali sikap ini muncul, maka harta yang seharusnya dibagi kepada fakir miskian pun akan disikat. Padahal, ini jelas dosa besar.
Terlihat dari surah Al Maauun:7, hanya karena seseorang tidak mengajak memberi makan orang miskin, Allah sudah menyebutnya sebagai pendusta agama. Lalu, bagaimana dengan orang yang mengorupsi jatah makan orang miskin puluhan milyar rupiah............??????

Islam di Cordova
Raja Inggris pernah mengirim surat kepada Sultan Hisyam III, penguasa Andalusia (kini Spanyol). Berikut petikannya, “Kami telah mendengar kemajuan ilmu dan industri di negara paduka. Karenanya, kami bermaksud mengirim putra-putri terbaik kami untuk menimba ilmu di negara paduka yang mulia agar ilmu pengetahuan tersebar ke negara kami yang dikelilingi kebodohan dari empat penjuru.” (dikutip dari Dr Muhammad Sayyid Al Wakil dalam Lamhatun min Tarikhid Daiwati ‘Wajah Dunia Islam’).
Isi surat ini membuktikan bahwa peradaban Islam yang terpusat di Cordova itu adalah sumber ilmu, teknologi, dab cara hidup masayarakat Eropa. Atas perkenan Hisyam III warga Eropa berduyun-duyun belajar di madrasah, universitas, dan pepustakaan Islam Merdeka terbelalak, mulanya, ketika mendapati teori bumi itu bulat dan mengelilingi matahari, bukan seperti doktrin gereja saat itu.
Kebasaran rahmat Allah kepada Cordova tergambar dalam buku sejarah Al Azhar, yang dikutip Al Wakil. Ketika sang surya terbenam, kota-kota besar Eropa gelap gulita, sedangkan di Cordova terang benerang disinari lampu-lampu. Eropa sangat kotor, padahal di Cordova telah dibangun ribuan WC umum. Eropa terbenam dalam lumpur, di saat yang sama jalan-jalan di Cordova mulus dan teratur. Bahkan, ketika anak-anak Cordofa mulai masuk sekolah, tokoh-tokoh (raja, bangsawan, dan pendeta) Eropa belum bisa menulis namanya sendiri.
Dengan kondisi itu, maka mustahil ada manfaat yang bisa diberikan Eropa. Cordova pun tidak memerlukan apa-apa dari luar Islam. Fakta ini diakui sejarawan besar Barat Gustave Lebon yang menyatakan, “Tidak ada hal-hal positif dari bangsa Barat yang brutal itu yang bisa ditiru dunia Timur.”
Benar, sebab mereka baru menggunakan sabun mandi setelah belajar dari umat Islam pada era perjanjian perdamaian seusai Perang Salib. Sebelumnya, orang Eropa jarang mandi. Cordova makmur dan mencurahkan rasa aman kepada rakyat, termasuk warga Kristen dan Yahudi, karena beriman dan menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan (lihat QS 7:96). Mereka hanya meniru Daulah Madinah, meski jelas tidak mampu menandingi keseluruhan peradabannya. Kapan umat Islam di Indonesia mengembalikan kejayaan Madinah dan Cordova....??????

Lebih Hina dari Bangkai
Suatu hari Nabi Muhammad saw. berjalan-jalan di pasar, diikuti banyak orang. Di tengah jalan, ia melihat seekor anak kambing yang daun telinganya kecil. Nabi menghampiri lalu mengangkatnya seraya bertanya, “Siapa yang mau membelinya?” Massa menjawab, “Kami tidak mau, tidak ada manfaatnya bagi kami.”
“Kalau diberi gratis, apakah kalian mau?”
“Bahkan, bila kambing itu masih hidup, kami juga menolaknya karena telinganya cacat. Apalagi sekarang anak kambing itu sudah jadi bangkai.” Mendengar itu Nabi bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya dalam perdagangan Allah, dunia lebih hina dari pada bangkai ini menurut anggapan kalian,” (HR Muslim)
Ini wajar karena bangkai tak lagi berbahaya. Bangkai pun tak kuasa menggoda dan menyesatkan orang hingga menganiaya. Bangkai siapa pun atau hewan apa pun takkan bisa menggunjing dan memfitnah. Sebaliknya, isi dunia bisa mengawali kehancuran manusia oleh perdaban imperialisme beberapa negara. Karena muatan perut bumi, seperti tambang minyak atau emas, penganiayaan hingga pembantaian ribuan orang masih terjadi hingga kini.
Selain Itu, kemampuan meraih nikmat dunia dijadikan kriteria kesuksesan sehingga ditirulah peradaban negara atau orang yang paling mampu meraih nikmat fisik dunia. Ukuran sejati kemanusiaan, yakni ketaqwaan dan keluhuran akhlak, tersingkirkan. Padahal, itulah stabdar penilaian Allah.
“Jangan sekalipun kamu terpercaya akan kebebasan orang-orang kafir bergerak (karena kekayaan dan kemajuan ekonominya) di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, selanjutnya tempat tinggal mereka ialah neraka Jahanam, dan Jahanam itu adalah seburuk-buruknya tempat tinggal.”(QS 3:196-197)
Sabda Nabi di awal tulisan ini hendaknya menyadarkan mereka yang selama ini terlalu memuliakan dunia. Tak jarang harta atau pejabat seseorang dijadikan standar kemuliaan. Akibatnya, bukan cuma saat berbisnis atau muamalah lain, bahkan dalam dakwah sekalipun, kerap muncul keengganan mengakui kebenaran dakwah orang-orang yang lebih miskin dari pada yang didakwahi. Jadi, tinggalkanlah penilaian kemuliaan atau kebenaran pada diri seseorang yang didasari ukuran keduniaan.

Majelis Zikir
Shalat Ashar berjamaah baru saja berlangsung di Masjid Nabawi. Biasanya, setelah itu Rasulullah saw dan para sahabat akan lama berzikir dan berdo’a. Namun, di hari itu, begitu mengucapkan salam, Nabi langsung berdiri lalu, dengan tergesa-gesa, melangkahi pundak jamaah untuk menuju rumah beliau yang menyatu dengan masjid.
Beberapa saat belalu, Nabi kembali. Melihat keheranan jamaah di depannya, Rasulullah bersabda, “Aku teringat ada beberapa batang emas di tangan kami. Aku tak suka terus memikirkannya, sehingga kusuruh segera dibagikan saja kepada yang berhak.”(HR Bukhari)
Kisah ini memberi dua hikmah. Pertama, Nabi selalu membagikan titipan kepadanya, yakni zakat, sesegera mungkin. Beliau enggan menundanya meski semalam, atau membiarkan hak rakyat menumpuk di khas negara, sementara masih banyak fakir miskin di sekelilingnya. Kedua, setinggi apa pun pahala berzikir, itu tetaplah amalan sunnah. Kewajiban harus didahulukan dan mustahil diganti dengan amalan sunnah sebanyak apa pun. Sebagai misal, dalam Shalat Subuh, bila seseorang terlambat bangun, dia harus tetap mengerjakan saat terjaga. Shalat Dhuha tidak bisa menggantikannya.
Sayangnya, banyak manusia tidak meneladani secara Kaffah ‘total’ perjalanan hidup Nabi. Mereka memang giat berzikir, sesuatu yang sangat dianjurkan, bahkan tahan berjam-jam dalam majelis yang khusus dibuat untuk itu. Namun, mereka melainkan begitu banyak kewajiban.
Padahal, makin banyak umat Islam yang gagal memenuhi kebutuhan hidup. Yang lemah iman menjadi tergoda gerakan misionaris hengga berpindah agama. Sayangnya pula, dana badan amil zakat menumpuk hingga bermilyar rupiah, pertanggungjawaban penyaluran minim, bahkan sangat mungkin diselewengkan justru oleh orang-orang yang sanggup berjam-jam berzikir dan berdo’a seusai shalat.
Ada kesan mereka tertimpa wahI ‘cinta dunia takut mati’ sehingga memilih aktivitas yang tidak dimusuhi kaum kafir. Padahal, hanya menambah kemakmuran rakyat lewat penyegeraan pembagian zakat, Nabi saja langsung meninggalkan zikir, do’a, dan shalat rawatib.
Apalagi, untuk menyelamatkan nyawa dan aqidah ratusan juta umat Islam, tentu lebih besar dan mendesak lagi pelaksanaan kewajiban itu.

Mengambil Jatah Rakyat
Takkala Rasulullah SAW sibuk membagi rampasan perang (ghanimah) Hunain, seorang Anshar datang dengan membawa seutas tali. Seraya menunjukkan tali yang diambil dari tumpukan ghanimah, dia berkata, “Ya Rasulullah, saya mengambil ini untuk mengikat unta yang lepas.” Nabi menjawab, “Bila itu dari bagianku, maka kurelakan.” Si Anshar bergumam, “Kalau sampai begitu, maka aku tidak butuh.” Tali itu pun dikembalikannya.
Jadi, meski seutas tali, bila belum menjadi hak pribadi, haram diambil. Statusnya, harta gelap atau korupsi (ghulul). Selain untuk pasukan, 20 persen ghanimah umtuk agama Allah, Rasul dan kerabatnya, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil (QS 8:41). Jelaslah, ghanimah juga juga jatah kaum dhuafa.
Ghanimah mirip zakat. Yaitu, harta untuk rakyat (umum). Alokasinya sudah ditetapkan. Tugas penguasa tinggal membagi, menentukan subsidi, dan jatah per orang. Jika jumlahnya terbatas, padahal banyak yang miskin, akan dicari yang mendesak dibantu,
Hasil tambang migas, emas, lautan, kehutanan, mata air di pegunungan, dan lain-lain juga berstatus serupa. Semuanya harta milik umum untuk kepentingan rakyat. Penguaasa haram memprioritskan dirinya. Jatahnya sama dengan rakyat jelata.
Ingatkahkisah protes Salman Al Farisi terhadap Khalifah Umar bin Khattab dalam membagi pakaian??? Usai Abdullah bin Umar menjelaskan terbukti jatah kepala negara sama dengan warga biasa. Jadi, bukan untuk keperluan pribadi, seperti makan siang atau berkreasi pejabat ata pegawai negeri, temasuk biaya perobatan bagi orang-ornag kaya. Apalagi, kini masih banyak fakir miskin dan tidak bisa membiayai sekolah dan mengaji, padahal belajar itu fardhu ‘ain. Selain kaum dhuafa, juga untuk program vital mendesak, misalnya pertahanan saat negara asing mengintervensi.
Harta gelap adalah perkara berat dan berdampak besar, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, ekonomi negara bangkrut dan pemulihannya selalu gagal. Adapun di akhirat, pelaku akan memikul semua ghulul di pundaknya. Kla dia berteriak, “ Ya Rasulullah, tolonglah aku”, Rasul malah menjawab, “Aku tidak bisa menolong sedikitpun,” (HR Muslim). Artinya, meski tidak selamanya, pelakunya bakal disiksa di neraka, kecuali bila betobat dan ghulul tadi dikembaliakn.

Memusuhi Alam
Alam seemesta tercipta serba terbatas, baik masa hidup atau keberadaannya, jumlahnya, daya reproduksi maupun daya rehabilitasinya. Ia akan hancur secara ilmiah. Merekan pun saling bergantung dengan yang lainnya dengan yang lainnya. Hutan, misalnya, kala di hulu sungai, perbukuitan atau pegunungan digunduli, maka keseimbangan air terganggu. Sungai kering dan dangkal ketika kemarau, lalu banjir saat hujan turun. Kurangnya air yang masuk ke tanah agar besa terserap akar pepohonan, baik karena terlalu sedikit (masa kemarau) maupun terlalu banyak dan cepat alirannya (saat banjir), akan menyulitkan tumbuahan perdu, rerumputan, mikrobiologi tanah, hingga pohon-pohon untuk hidup subur.
Realisat penting lainnya adalah kemampuan manusia untuk mem bantu rihabilitasi alam terlalu kecil dibanding dengan kehebatannya merusak alam. Hutan buatan takkan mampu menjalankan fungsi hayati seperti pepohonan dan unsur lainnnya di hutan alam.
Kesadaran bahwa lam semesta, manusia, dan kehidupan semua makhluk bersifat terbatas, tergantung suatu sama lain, dan selalu memerlukan kekuatan Mahagaib itu seharusnya memancarkan keyakinan bahwa manusia haram bermusuhan dengan alam. Manusia pun harus mengaturnya sesuai syariah karena hanya Allah yang tahu persis alam semesta ini.
Islam mewajibkan penguasa melindungi nyawa rakyat, sebagaimana fardhu menjaga alam. Di masa Rasulullah SAW daerah di dekat Madinah dan Naqi ini ditetapkan sebagai hima ‘cara negara’ ubutk keparluan pangan kuda-kuda perang (HR Bukhari dan Abu Ubaid), sedangkan Khalifak Abubakar menetapkan Rabzah. Semetara itu, Umar bin Khattab menjadikan daerah Syaraf sebagai kawasan khusus untuk pakan ternak fakir miskin. Wilayah itu haram untuk kepentingan lain.
Tentang ini, Iman Mawardi dalam kitab AL-Ahkamus Sulthaniyah wal Wilaayaatud Diiniyah menyatakan hima dibuat seperti keputusan Allah dan Rasul-Nya, yaitu bagi fakir, miskin, dan jihad, serta kemaslahatan kaum Muslimin (bukan segelintir orang). Karena kemaslahatan semua orang menjadi kriteria, negaraberhak melarang pembukaan atau eksplositasi daerah yang bisa membahayakan banyak orang.
Maka, ketika terjadi tanah longsor dan banjir yang menyapu puluhan orang dalam hitungan detik di awal Syawal tahun 2006, kita jadi berpikir bahwa benarkan sistim kehidupan selain Islam mampu melindungi manusia, di mana negara menetapkan kawasan lindung, konsisten menjaganya karena memandangnyasebagai fardu, serta menghukum pelaku perusaknya????

Bahaya Riba
Sebelum Rasulullah SAW datang, ekonomi Madinah dikuasai Yahudi, terutama oleh Khaibar, Nadhir, Quraizhah, dan Qainuqa. Mereka menguasai lahan-lahan subur, distribusi hasil pertanian dan berkebunan, serta permodalan. Prof Akram D Umari (1999) dalam buku Medinan Society at the Time of the Prophet menegaskan bahwa pusat ekonomi mereka adalah riba.
Karena berbasis riba, mereka mampu menghimpun dana besar. Lalu mereka bisa membangun industri senjata, yang dijual ke kabilah-kabilah Arab. Pengaruh mereka meluas. Berbagai cerita khayalan (israiliyat), paham kemusyrikan dan fantisme kesukuan dan kekalibahan mewarnai kehidupan di sana.
Akibatnya, Kabilah Aus dan Khazraj, misalnya, selalu berperang hingga negeri Yastrib (nama sebelum Madinah) nyaris hancur. Kesadaran mereka lahir ketika sudah di tepi jurang disintregasi dan kehancuran.
Sementara itu, Yahudi justru makin kokoh. Maka, kala enam orang Yastrip bertemu dengan rombongan dakwah Rasulullah saat musim haji di Mina, mereka spontan beriman. Alasannya, mereka tidak ingin Yastrib hancur karena dikuasai Yahudi.
Demikianlah, pengalaman warga Madinah sebelum Islam menghapus riba dan hanya menjadikan syariah sebagai basis ekonomi. Kini pengalaman mereka hadir kembali dan membuat dunia Islam tertekan secara politik, militer, ekonomi, dan opini.
Di bedang ekonomi, misalnya, Indonesia diterpa krisis akibat sistem ekonomi berbasis riba. Untuk menolong perbankan, triliunan rupiah dikucurkan. Seiring dengan bebelasan ribu triliunan rupiah. Mustahil utang itu terbayar, kecuali dengan menggadaikan semua kekayaan alam serta menarik pajak dari kegiatan ekonomi dan aset apa pun selama puluhan hingga ratusan tahun.
Selain itu, suku bangsa menaikkan harga barang dan jasa. Sebab, bagi produsen dan pedagang yang umumnya mengambil kredit berbunga, tingkat laba harus di ata suku bangsa agar tetap untung dan labanya tdak digerus inflasi. Akibatnya, daya beli masyarakat kecil menurun. Meski bisa makan, namun gizi mereka terus berkurang, sehingga muncul bahaya penurunan daya pikir masyarakat dalam jangka panjang. Benarlah firman-Nya, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS Baqarah: 276).

Keikhlasan Kaum Anshar
Di Ji’ranah, Rasulullah saw sedang membagiakan harta hasil perang Hunain. Tokoh-tokoh Quraisy diberi banyak harta, misalnya, Shafwan bin Umayyah diberi 300 ekor unta dan domba. Dia pun kontak masuk Islam (HR Shahih Muslim). Bayak lagi bekas musuh Rasul dijatah masing-masing puluhan kilogram perak dan ratusan ekor ternak.
Tapi, tak satupun kaum Anshar menerimanya. Mereka kesal, terutama kaum mudanya. Pemimpinnya, Sa’ad bin Ubadah, segera menghadap Nabi. Mendengar kekecewaan mereka, Rasul menyuruhnya mengumpulkan semua kaum Anshar.
Setelah mereka berkumpul, Rasul bersabda. “Wahai kaum Anshar, desas-desus apakah yang sampai kepadaku? Apakah kalian marah kepadaku? Bukankah ketika aku ketika hijrah kalian masih tersesat, lalu Allah memberi hidayah kepada kalian melalui aku? Bukankah kini kalian kaya, padahal sebelum kedatanganku kekurangan? Kalian pun saling berperang, lalu Allah mempersatukan mempersatukan kalian karena aku?”
Semuanya menjawab, “Benar, Allah dan Rasul-Nya yang lebih pemurah dan lebih utama jasanya.” Karena mereka hanya menjawab demikian, Rasul pun bertanya, “Mengapa kalian tidak mau membalas perkataanku?”
“Demi Allah,” lanjut Rasulullah saw, “Kalau mau, kalian tentu bisa membalasnya. Itu pasti dibenarkan. Kalian bisa katakan, ‘Anda datang ketika didustakan orang, maka kamilah yang mempercayai. Ketika Anda diusir, kamilah yang membela. Kala Anda diburu, kami yang melindungi’.
Wahai kaum Anshar, mengapa kalian jengkel karena tak menerima sampah dunia itu? Apakah kalian tidak rela ketika orang lain pulang bersama unta dan domba, kalian pulang ke Madinah bersama Rasulullah?” Seketika mengalirkan air mata kaum Anshar. Lenyaplah kejengkelan.
Bangkit kembali keikhlasan. Bahwa merekalah yang paling berjasa dibanding penerima harta, mereka puas hanya dengan jatah akhirat. Kini, banyak manusia membongkar korupsi, publikasi data penyelewengan dana, atau memunculkan beragam masalah baru, tampaknya bukan untuk melenyapkan kezaliman, melainkan agar kemungkaran tertutupi. Atau, dia mendapat simpati, jabatan, dan harta beberapa tahun lagi.
Mestinya para politisi berkaca. Amalan kaum Anshar tak berhenti di retorika. Meski sampai mengorbankan nyawa membela Islam dan negara, mereka tetap merasa diri mereka bukan paling berjasa, sehingga paling layak berharta dan berkuasa.

Kala Muslim Ditangkapi
Rasulullah saw dan sekitar 1.400 Muslim sedang berkumpul di Hudaibiyah. Mereka menunggu rombongan Ustman bin Affan yang diutus kepada musyrikin Mekah. Pesannya, kaum Muslimin ingin dibolehkan masuk dan berthawaf.
Tiga hari telah berlalu. Tiba-tiba mereka dikejutkan berita bahwa Ustman ditahan. Kala dicek kepada warga sekitar Hudaibiyah, malah didapat kabar Ustman dibunuh. Spontan, Nabi mengumpulkan para sahabat dan bersabda, “Allah SWT menyuruhku meminta bai’at kalian atas kematian Ustman.” (HR Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam),
Serentak kaum Muslimin menyebutnya. Tiada keraguan mesti hanya bersenjata seadanya. Tangan yang satu di atas tangan yang lain, menghubungkan 1.400 muslim semuanya. Bahkan, Ummu Amarah, walau perintah tadi hanya wajib bagi pria, ikut berbai’at sambil menyelipkan sepotong kayu di pinggangnya.
Mereka bersumpah unutk tidak mundur atau lari dari jihad (HR Bukhari-Muslim), andai kematian Ustman harus ditebus dengan perang. Persaudaraan sesama Muslim, yang merasa bahwa yang lain adalah laksana bagian tubuhnya, menjelma nyata. Batas-batas suku, bangsa, atau faksi berbasis apa pun, terlintasi. Gangguan kepada seorang Muslim, apalagi sampai berupa penangkapan hingga pembunuhan, berarti menyerang seluruh muslim.
Mengetahui reaksi itu, musyrikin Mekah langsung ngeri. Mereka utus Suhail bin Amr dan rekannya agar mengajak umat Islam berunding dan berbuat perjanjian perdamaian. Memang, bila musuh tidak dibuat gentar, mereka pasti makin kurang ajar.
Maka, naiklah wibawa Islam dan Muslim. Sebab, ajakan tadi berarti Quraisy telah mengakui kedaulatan dan kekuatan Islam. Tercegah pula perang terbuka. Itulah jalan menggapai ridha-nya, menciptakan ketenangan dan kestabilan masyarakat, dan kelak kemenangan atas apa pun selain Islam dan Muslim (QS 48:18).
Kini, persaudaraan lebih sering muncul ketika sama mendapat nikmat. Padahal, saudara sejati adalah saudara yang selalu hadir saat dibutuhkan (the brother indeed is the brother in need). Dan, membela saudara seiman dengan daya apa pun yang kita miliki, apakah publikasi, penggalangan opini umum, dana, lobi, hingga kekuatan bersenjata, adalah bukti kita beriman dan bersaudara, yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Kekeringan
Islam mampu memberi solusi, baik saat masyarakat sedang makmur dan berkecukupan, maupun kala diancam kekeringan, kelaparan, dan penderitaan. Bukti untuk itu hadir di era pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan.
Di era Umar, kemarau panjang pernah melanda Madinah dan sekitarnya. Hampir semua lahan tanamah pokok gagal panen. Meski tak sampai ada yang mati kelaparan, tetapi itu cukup membuat Umar pontang-panting karena tak tega melihat warga hanya makan sekali dalam sehari. Ia pun menulis surat kepada Gubernur Mesir Amr bin Ash agar mengirim makanan begitu surat tiba di tangannya.
Maka, berangkatlah ribuan unta membawa makanan, sedemikian banyaknya hingga ketika rombongan pertama tiba di Madinah, rombongan terakhir baru berangkat dari Mesir. Baik unta maupun muatannya langsung dibagi di hari kedatangannya.
Memang kekeringan takkan pernah melanda semua daerah. Ketika ada yang gagal panen, maka di daerah lain justru surplus produk pangan. Kekeringan adalah ujian Allah SWT bagi yang surplus pangan untuk membantu yang kekurangan. Kehadiran Islam membuat realitas ini dapat disiasati dengan kecepatan distribusi dan kehendak politikus memprioritaskan rakyat saat krisis.
Umar pun menyuruh para pejabat dan keluarganya untuk turut prihatin. Misal, Umar hanya makan roti kering. Dia menolak usulan keuarganya agar makan daging dan mentega yang sebenarnya masih tersedia di Baitul Maal. Sebab, sebelum bantuan dari Mesir tiba, Umar terlihat pucat, sebagaimana rakyat jelata.
Adapun Ustman memilih bersedekah dalam jumlah besar. Sekitar seribu ekor unta miliknya yang bermuatan jagung, lemak, dan kismis, tiba di Madinah saat paceklik. Meski para spekulan bersedia membelinya seharga sepuluh kali lipat, Ustman memilih bersedekah karena tiada yang mampu memberi laba melebihi 700 kali lipat seperti yang dijanjikan Allah (QS 2:261).
Kekeringan juga sinyal murka-Nya kepada penguasa atau rakyat, seperti Ustman dan paman Rasulullah saw, Abbas (riwayat Bukhari dan Sulaiman bin Yassir). Maka, semua warga diajak bertobat nasuha. Lalu, dengan dipimpin Umar dan Abbas, karena keduanya memiliki hati yang bersih, rakyat berdo’a bersama seraya mencucurkan air mata. Bagaimana kini dengan Idonesia????

Nuruddin dan Al-Quds
Penguasa Syam dan Mesir Sultan Nuruddin Mahmud Zanki tampak murung. Padahal, dia sedang mengikuti pembacaan hadist Nabi soal keutamaan tersenyum. Karenanya, berkali-kali pembacaan hadist memintanya tersenyum. Namun, beliau tetap menolak. Bahkan, tiba-tiba dia berkata, “Sesungguhnya aku malu kepada Allah bila sampai Dia melihatku tersenyum, sementara kaum Muslimin di Dimyath kini terkepung tentara salib asal Prancis.”
Memang, Nuruddin baru saja menerima surat dari Shalahuddin Al Ayyubi yang mengabarkan bahwa tentara salib sedang mengepung kota di wilayah Mesir itu (diriwayatkan Imam Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah wan Nihayah). Nuruddin tahu itu hanya sasaran antara untuk menguasai Al-Quds (Yerusalem), dan terbukti benar beberapa tahun berikutnya, di mana ribuan Muslim gugur dalam sehari.
Kini, hanya segelintir Muslim yang masih ingat Al-Quds. Padahal, pelan tapi pasti, penjajah Israel terus meluaskan basis militernya seraya mempersempit akses Muslim Palestina dengan dunia luar. Didukung negara-negara kufur lainnya, mereka memecah perhatian para pemimpin negeri-negeri Islam dan rakyatnya.
Mereka sibukkan para pembesar kita dengan agendanya masing-masing. Mereka menjebak Muslim Indonesia, misalnya, untuk habis-habisan menanggapi fitnah pejabat asing, agar lalai menyelamatkan jutaan jiwa Muslim yang sedang terancam mulai dari desa-desa terpencil di Maluku, hingga Kashmir, Irak, Somalia, dan Palestina. Ribuan Muslim di sekital Al-Quds telah berpulang. Setiap hari selalu jatuh korban baru. Bila di sini anak-anak turun ke jalan untuk mengamen atau mengemis, maka dia disana membawa ketapel dan melontarkan batu-batu ke arah tank-tank Israel. Tak masuk akal, memang bisa menghancurkan mesin baja dengan batu..?
Tetapi, lebih tidak masuk akal lagi bila para pemimpin Muslim masih bisa tertawa, sementara umat dan negeri Islam terancam musnah. Kita merindukan hadirnya sosok seperti Sultan Nuruddin atau Shalahuddin. Apalagi, kita yakin semua Muslim pasti murka bila masjid di kampungnya dijaga oleh orang kafir dan dihalanggi shalat disana. Tapi, mengapa mereka bungkam kala masjid kemuliaan ketiga, sesudah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dikepung musuh-musuh Allah???

Laman

My Album

My Album